De Soto dan Ekonomi Informal

Adalah Hernando de Soto, seorang ekonom Peru, Amerika Latin yang menganalis tentang keberadaan sektor Ekonomi Informal serta permasalahanya yang dilakukannya di Peru, namun setelah bukunya terbit, The Other Path, The Invisible Revolution in The Third Word, ternyata mayoritas seluruh Negara yang tergolong kategori dunia ketiga memberikan apresiasi dan tanggapan positif bahwa persoalan ekonomi Informal di Peru ternyata sama saja di belahan dunia ketiga termasuk Indonesia baik objek maupun subjeknya. Menariknya lagi, analisis dan kesimpulan yang dibangun dalam bukunya tidak membedakan apakah negera tersebut Negara kapitalis ataupun Negara sosialis, atau apakah Negara jajahan Spanyol ataupun jajahan Inggris atau Belanda.

Menariknya lagi, tulisan de Soto yang merupakan hasil penelitian yang intens yang pada akhirnya menyadarkan pemerintah Peru bahwa tulang punggung perekonomia Peru adalah sector ekonomi Informal bukan Pengusaha besar atau Multi Nasional Corporation (MNC). dan dengan dukungan penuh dari pemerintah Peru, de Soto dan tim nya berhasil memfasilitasi pemberian status legalitas usaha terhadap 300,000 usaha ekonomi informal dan legalisasi terhadap lahan dan rumah mereka yang diikuti terbukanya akses perbankan untuk memperkuat sektor permodalan usaha melalui kredit perbankan yang jaminannya adalah sertifikat lahan dan rumah yang telah mereka terima.

Menurut de Soto, aktivitas ekonomi informal itu muncul sebagai jawaban atas mandeknya kesempatan mendapatkan legalitas hukum dan hambatan birokrasi. hal ini terjadi ketika legalitas hukum merupakan hak istimewa yang bisa diperoleh dengan akses politik dan ekonomi segelintir orang atau kelompok. Hambatan untuk memperoleh legalitas hukum dan pelayaan birokrasi ini menurut de soto adalah biaya transaksi yang sangat mahal harganya.

Padahal selama ini memurut pendapat umum mayoritas orang, ekonomi informal adalah suatu keadaan ekonomi yang terjadi sebagai dampak negatif dari sistem kapitalisme liberal sebagai akibat persaiangan usaha dan pasar bebas
Tentu saja pemikiran de Soto berbeda dengan pendapat beberapa kalangan terutama dari kelompok radikal baik sayap kiri maupun sayap kanan yang menganggap bahwa ekonomi informal muncul sebagai reaksi atas ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pokok golongan penduduk kebanyakan yang dalam Bahasa masing-masing adalah inefisiensi versi kelompok kanan dan ketidakdilan versi kelompok kiri, namun de Soto tidak mau terjebak dalam kedua kelompok ini dan memandang secara fakta dan realitas penyebabbya adalah faktor teknis yaitu aturan hukum dan birokrasi bukan masalah ideologi.

Melalui penelitiannya di Peru sekitar tahun 1980-an, de Soto menemukan bahwa banyak kegiatan usaha di kota-kota besar di Peru tidak memiliki izin usaha. Data yang didapatkannya adalah bahwa 90 persen dari total usaha kecil, 82 persen dari total usaha transportasi di perkotaan, 60 persen dari total bisnis penangkapan ikan, serta 60 persen dari total usaha distribusi dan eceran yang ada di Peru, justru berasal dari sektor informal.

de Soto menyebutkan bahwa selama ini sektor informal yang sebagian besar adalah bercirikan usaha kecil menengah dan perorangan. Usaha ini dikategorikan illegal karena tidak mengantomgi berbagai izin, tidak formal, menempati lahan terlarang dan dengan pendapatan yang rendah. Hal itu terjadi karena usaha-usaha mereka banyak dihambat oleh aturan birokrasi hukum dan sulitnya melakukan hubungan dengan pemerintah.

Kalaupun mereka berupaya untuk berhubungan dengan pemerintah dan mendapat pengakuan hukum serta legalitas harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Biaya menjadi formal sangat mahal. Walaupun dengan risiko dikejar-kejar oleh aparat birokrasi dan hukum dan sangat sulit untuk berkembang. Bahkan selama ini mereka seperti hantu-hantu ekonomi yang tidak tersensus dan dan tidak diperhitungkan oleh pemerintah walaupun keberadaan meraka ada dan dapat dirasakan.

Pemikiran De Soto terfokus pada usaha ekonomi dalam kaitannya dengan aspek hukum dan birokrasi, yang pengaruhnya sangat nyata terhadap sistem ekonomi. Namun sekali lagi de soto membuat garis hitam putih, bahwa yang dimaksud usaha ekonomi adalah usaha ekonomi yang melibatkan semua penduduk didalamnya yang saling berinteraksi dengan cara saling menguntungkan. Ini juga yang di kritik oleh de soto dengan apa yang disebutnya sebagai ekonomi merkantilisme yaitu suatu system ekonomi dimana suatu Negara dikendalikan oleh birokrasi dan peralatan hukum, yang menganggap bahwa membagi-bagi kekayaan nasional lebih penting daripada menambah besar kekayaan itu dan “membagi-bagi” menurut de Soto adalah membagikan hal monopoli atau kedudukan khusus pada kelompok tertentu yang hidup tergantung pada Negara.

Pendapat de soto diperkuat dengan menunjukkan bukti-bukti bahwa penyusunan peraturan perundangan di berbagai dunia ketiga baik yang menyangkut masalah ekonomi dan perdagangan, kerap disusun berdasarkan keinginan kelompok tertentu yang sangat memungkinkan sebagian besar orang-orang harus terlempar dan tidak bias mengikuti aturan perundangan tersebut disamping itu juga system birokrasi dibuat berlapis-lapis dan sulit, sehingga tidak memungkan pelaku usaha kecil dapat menembusnya sebagaimana yang terlihat pada birokrasi perizinan instansi pemerintah dan birokrasi perbankan yang kaku dan menyulitkan.

Menariknya lagi, de Soto bukan seorang pembenci pasar bebas ataupun pendukung ekonomi sentralistik, sebagaimana yang sering kita temukan dalam berbagai pemikiran ekonomi yang hanya mempunyai satu kutub, tetapi de Soto lebih mirip sebagai Anthony Giddens, yaitu yang sama-sama menawarkan “jalan tengah”. De Soto menganjurkan pemikiran untuk adanya integrasi antara ekonomi formal dan informal yang dapat menciptakan kesempatan baik sektor informal maupun formal untuk berkembang menurut kaidah masing-masing, sebab hanya dengan demikian sumberdaya manusianya dapat dikembangkan baik energi maupun kreatrivitasnya.

Pendapat de Soto dalam Tulisan ini saya pikir sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, sebab pembahasan masalah sector ekonomi informal ini sudah lama di teliti, di bahas, diseminarkan bahkan sudah ada yang menjadi peraturan perundangan, namun secara umum sifatnya parsial dan terpecah-pecah dan selalu berdasarkan permasalahan yang timbul dan musiman. Sedangkan persoalan ekonomi informal terus saja bergulir pada setiap kota di Indonesia. Persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini dalam sektor ekonomi informal adalah permasalahan rumah bermasalah, lahan pertanian yang tidak sah, pedagang kaki lima, industri rumah tangga, taksi gelap, becak,dan lain-lain yang rata-rata menurut pemerintah, baik pusat maupun daerah adalah sebagai biang keladi penghambat pembangunan dan perusak keindahan kota.

Dan ironiknya, belum ada satupun solusi yang adil dan sistematis dalam penanganan masalah ekonomi informal, yang ada hanya menghancukan dan memberangus keberadaan sektor ekonomi informal tersebut kalaupun ada pemerintah daerah yang berbaik hati, biasanya cukup hanya membiarkannya saja namun tanpa adanya perhatian yang serius. Padahal secara faktual, sektor ekonomi informal adalah satu-satunya sektor ekonomi yang dapat bertahan dalam serbuan krisis ekonomi Indonesia tahun 1997 dan bahkan menurut menurut sumber pemerintah, sektor ekonomi Informal adalah katup penyelamat bangsa dimana pada saat itu setor usaha besar, konglomerasi dan MNC ambruk berjatuhan yang berakibat pada jatuhnya nilai rupiah dan bertambahnya pengangguran.

Dibawah pemerintahan Indonesia, apa yang disampaikan de Soto setidaknya dapat menjadi referensi dan berharap dapat merubah paradigma dalam proses penyusunan berbagai peraturan-perundangan yang dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan, seperti kepentingan pasar bebas dengan kepentingan nasionalime, kepentingan pengusaha kakap dan kepentingan usaha kecil.

Dan setidaknya, pendapat de Soto menunjukkan kepada kita bahwa masih ada jalan lain untuk memperbaiki sisem ekonomi disamping jalan-jalan selama ini yang ditempuh oleh negara kita dan itu sangat mungkin.

Penulis

Assoc. Prof. Ade Parlaungan Nasution, PH.D

(Rektor Universitas Labuhamlnbatu)