Daerah  

Pengurusan BPHTB di BPKPD Humbahas Beraroma Pungli

BacariaNews

Bacaria.id, Humbahas – Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai salah satu pendapatan daerah dari setiap transaksi ataupun jual beli tanah dan bangunan diduga menjadi ajang pungli oleh oknum di Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Humbahas.

Pasalnya, dalam pelaporan BPHTB terindikasi adanya penyimpangan dimana harga transaksi antara pembeli dan penjual yang real (sesungguhnya) dan tertulis dimungkinkan berbeda. Perbedaan nilai tadi dimaksudkan untuk mengurangi pembayaran atau bea sebagai pemasukan pemerintah kabupaten Humbahas pada setiap jual beli tanah dan bangunan.

“Disinilah dugaan peluang pungli itu dimungkinkan dan kerap terjadi. Dan ini sangat merugikan negara, melalui pemerintah daerah Humbahas,” kata Juandi Sihombing, pemerhati Humbahas, di Dolok Sanggul, Senin (04/09/2023).

Juandi mencontohkan rincian perhitungan tadi ketika transaksi atas tanah dan bangunan sesungguhnya senilai Rp 200 Juta, namun dalam pelaporan BPHTB bisa saja dibuatkan Rp 100 Juta, yang tujuannya untuk mengelabui atau menghindarkan BPHTB. Karena, menurut hitungannya, Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) hanya senilai Rp 60 Juta. Artinya, Rp 100 Juta dikurang Rp 60 Juta ada senilai Rp 40 Juta dan sebesar lima persen dari Rp 40 Juta tadi adalah nilai yang dikenakan BPTHB atau Rp 2 Juta adalah nilai yang disetorkan pada Pemkab.

“Peluang ajang pungli itu tadi adalah sisa dari nilai transaksi sesungguhnya dan yang dilaporkan ada Rp 100 Juta. Inilah yang berpotensi di ‘main matakan’ antara sipelapor dengan oknum veripikator di BPKPD,” ulas Juandi.

Lanjutnya lagi, ketika nilai transaksi yang dilaporkan lebih kecil dari nilai transaksi yang sesungguhnya, terlebih untuk transaksi dengan veliue yang lebih besar dan dilakukan berkali-kali, peluang itu semakin akan menguntungkan si Oknum.

“Diyakini dengan berbagai upaya dari berbagai sumber, nilai transaksi yang sesungguhnya pasti akan diketahui. Setidaknya, dari masyarakat yang tinggal berdekatan dengan tanah yang menjadi objek transaksi, informasi nilai transaksi yang sesungguhnya pasti akan didapat, meskipun sebagian nilai transaksi itu bisa ditaksir melalui pendekatan NJOP sebagai dasar perhitungan,” tukasnya.

Sebelumnya, baru-baru ini, Kepala BPKPD humbahas, melalui Hemat Alexi Sitanggang, Kabid Pendapatan, kepada wartawan membenarkan hitungan persentase lima persen yang harus disetorkan dalam BPHTB setelah dikurangi NJOPTKP senilai Rp 60 Juta.

“BPHTB diatur dalam Perda No 17 Tahun 2011 dan Perda No 2 Tahun 2019. Jadi tidak semua dikenakan bea, hanya transaksi atas tanah yang nilainya diatas Rp 60 Juta. BPTHB hanya bagi tanah yang sudah bersertifikat dan diterbitkan oleh Notaris,” katanya.

Dia juga menjelaskan total BPTHB yang melakukan setor ada sekitar Seratusan lebih dengan capaian retribusi sebesar Rp 1,4 Milyar pada Tahun lalu.

Ditanya, apakah pihaknya dapat menolak untuk memverifikasi BPHTB ketika disinyalir adanya unsur manipulasi harga sesungguhnya dan harga yang tertera pada pengusulan, Hemat beralasan pada perda pihaknya tidak memiliki dasar menolak atau menunda proses verifikasi tadi.

“Dalam Perda tidak ada pasal yang menyebut bisa menolak ataupun menunda proses verifikasi. Jadi semua harus diproses melalui aplikasi yang ada,” katanya.

Ditanya kembali, jika tidak ada peluang menolak atau menunda besar kemungkinan masyarakat pemohon dan petugas verifikator akan bersekongkol seperti dugaan masyarakat dalam bentuk pungli, justru Hemat Sitanggang sedikit berang dan bertanya siapa masyarakat yang melakukan tudingan itu.

“Jika ada siapa masyarakatnya dan yang mana notarisnya bilang sama saya biar saya klarifikasi pada mereka. Ok, nanti saya akan coba periksa hal ini,” katanya dengan ekpresi kurang sedap.