Bacaria.id, Taput – Penilaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) kepada Pemerintah Kota/Kabupaten yang dinilai oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjamin pemerintah Kota/Kabupaten tersebut terbebas korupsi, karena opini WTP yang diberikan hanya menilai tata kelola keuangannya yang dilakukan oleh Kota/Kabupaten adalah baik bukan berarti benar, karena kalau benar semuanya harus diaudit.
Hal ini dikatakan oleh Amir Hutabarat Seketaris DPC Lembaga Pemantau Pembangunan Dan Aset Republik Indonesia (DPC LSM .LPPAS – RI) Tapanuli Utara (18/09). Dikatakannya, diduga pengauditan tata kelola keuangan Pemerintan Kota/Kabupaten yang dilakukan secara sampling dan tidak dilakukan secara menyeluruh.
“WTP tidak menjamin tidak ada dugaan korupsi bisa terjadi, karena WTP hanya tata kelola keuangannya dinyatakan baik”ungkap Amir.
Menurutnya, untuk meningkatkan mutu kualitas audit BPK maka samplingnya harus di naikkan, dengan secara menyeluruh kalau bisa untuk audit berikutnya, supaya nantinya BPK bisa mendeteksi dalam hal kecurangan, tetapi dengan adanya kerja sama yakni dengan adanya link and match antara Kota/Kabupaten dengan BPK, sehingga data-data yang diperlukan dapat langsung diterima BPK, sehingga para pemeriksa BPK akan bisa memeriksa laporan keuangan di meja pemeriksa atau kita kenal dengan desk-audit,” terang Amir.
Amir mengungkapkan Pemda yang telah memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK, tidak menjamin Pemda tersebut bebas korupsi. Ia menambahkan status Opini WTP itu sesungguhnya merupakan kesesuaian transaksi yang dimasukkan dalam laporan keuangan. Ada sejumlah hal yang perlu dicermati meskipun sebuah lembaga atau daerah mendapatkan status WTP.
Namun terkait penerimaan WTP tersebut semoga tidak terindikasi dugaan gratifikasi atau tindak pidana korupsi berdasarkan transaksi yang dapat memuluskan penilaian untuk bisa tetap mendapatkan opini WTP.
Namun kita sangat menyesalkan jika benar terjadi dan sesungguhnya merupakan tindak pidana korupsi adalah adanya kick back atau pengembalian uang dalam jumlah tertentu kepada sejumlah oknum setelah transaksi dalam pembukuan dilakukan, katanya.
“Kontrak sudah benar, pembukuan benar, kemudian ada kick back. Jadi misalnya membangun gedung Rp500 miliar, kemudian dikembalikan Rp50 miliar (tidak tercatat). Itu ketahuan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” ujarnya.
Amir Hutabarat mencontohkan pada Juni 2022 yang lalu, Provinsi Papua mendapatkan opini WTP untuk laporan keuangan 2021 dan merupakan yang ke-8 kali secara berturut-turut. Pemerintah Provinsi Papua menyatakan bahwa opini WTP tersebut merupakan kerja keras seluruh pihak. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 14 September 2022 menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka kasus korupsi.
Hal sama disampaikan Ketua DPC LAKI (Laskar Anti Korupsi Indonesia) H Silalahi saat dihubungi, Dia mengungkapkan WTP ini dia tidak menjamin bebas dari korupsi. Karena data KPK, di tahun 2022 ini saja ada 1 gubernur, 3 Bupati, dan 3 Wali Kota yang daerahnya mendapatkan WTP, tapi Kepala Daerahnya menjadi tersangka korupsi oleh KPK,” katanya.
Opini WTP merupakan predikat impian dan kebanggaan institusi baik pusat dan daerah. Sebab, institusi yang bersangkutan dapat mengekspresikan akuntabilitasnya sebagai entitas kepada publik/masyarakat.
Menurut Silalahi, ini adalah rambu peringatan kepada Kepala Daerah khususnya di Provinsi Sumut agar tidak berperilaku korup.
“Jadi ini adalah alarm, wanti-wanti, artinya capaian laporan keuangan ini di suatu sisi kita apresiasi, namun di sisi lain tidak menjamin bahwasanya bebas dari korupsi,” ucapnya.