Potret Buruh Negeri Berjuang Sendiri Untuk Nasib yang Tak Pasti

BacariaNews
Ilustrasi (int)

bacaria.id, Rantauprapat – Tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai ‘Hari Buruh’ dan dikenal dengan sebutan “May Day” merupakan sebuah hari libur tahunan yang berawal dari usaha gerakan serikat buruh untuk merayakan keberhasilan ekonomi dan sosial para buruh.

Pemilihan tanggal 1 Mei sebagai ‘Hari Buruh Internasional’ memiliki sejarah yang panjang mengikuti sejarah perjuangan para buruh melawan kapitalisme yang mengenyampingkan nasib dan kesejahteraan para buruh.

Walaupun tanggal 1 Mei sebagai ‘Hari Buruh Internasional’ merujuk pada perayaan pergantian musim ke musim semi (spring) di Amerika Serikat, ironisnya penetapan tanggal 1 Mei justru lahir dari sebuah tragedi kerusuhan Haymarket Affair di Chicago.

Berawal ketika Serikat Buruh melakukan unjuk rasa di Chicago dan beberapa kota besar di AS pada tanggal 1 Mei 1886 menuntut perbaikan jam kerja menjadi maksimal 8 jam per hari. Sayangnya pada tanggal 4 Mei 1886 unjuk rasa berubah rusuh dengan terjadinya bentrok antara Polisi dengan pengunjuk rasa yang berujung dengan tewasnya 7 polisi dan 4 warga sipil.
Tetapi ada cerita sukses juga yang melatarbelakangi penetapan 1 Mei sebagai ‘Hari Buruh Internasional’ yang oleh Federation of Organized Trades and Labor Union terinspirasi kesuksesan aksi buruh di Kanada pada Tahun 1872.

Walaupun ‘Hari Buruh Internasional’ telah berusia se-abad lebih tetapi di Negara Kesatuan Republik Indonesia penetapan ‘Hari Buruh’ sebagai hari libur nasional baru dilakukan pada Tahun 2013 melalui KEPPRES RI No. 24 Tahun 2013 di masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Hari Buruh Nasional dimulai pada tahun 1918 oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee. Kala itu tokoh kolonial Adolf Baars mengkritik harga sewa tanah milik kaum buruh dinilai terlalu murah untuk dijadikan perkebunan. Setelah peringatan tersebut para buruh kereta api melakukan aksi mogok karena mendapat pemotongan gaji dan diancam dipecat jika tidak menghentikan aksinya.

Akibatnya pada tahun 1926 Hari Buruh di Indonesia ditiadakan dan diijinkan kembali dirayakan setelah 20 tahun kemudian pada 1 Mei 1946 pada masa Kabinet Sjahrir. Selanjutnya pada masa pemerintahan orde baru peringatan ‘Hari Buruh’ dilarang dirayakan berkaitan dengan persepsi rezim orde baru bahwa gerakan buruh selalu dikaitkan dengan ideologi komunis.

Pada awal era reformasi walaupun 1 Mei bukan merupakan hari libur tetapi peringatan ‘Hari Buruh’ kembali marak dirayakan melalui aksi unjuk rasa dan long march gerakan buruh dan mahasiswa menuntut jaminan sosial dan hak-hak buruh.

Pada tanggal 1 Mei 2023 hampir seluruh elemen gerakan buruh dalam rangka memperingati ‘Hari Buruh Internasional’ akan melaksanakan aksi unjuk rasa besar-besaran di Ibukota dengan mengerahkan hampir 200 ribu orang buruh guna menuntut dibatalkannya PERPPU Nomor 2 Tahun 2022 tentang CIPTA KERJA yang dinilai sangat merugikan kaum buruh terhadap akses ekonomi, politik dan sosial.

Sejak pertama sekali ‘Hari Buruh Internasional’ diperingati di Indonesia selalu ditandai dengan aksi unjuk rasa dan demonstrasi menuntut perbaikan kesejahteraan buruh, jaminan sosial buruh, tenaga alih daya, dan akses politik bagi buruh.

Seyogyanya ‘Hari Buruh Internasional’ sebagai hari libur nasional dapat dijadikan sebagai momentum bagi buruh untuk merefleksikan dan merefreshing kehidupannya sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, ujung tombak proses produksi, korporasi dan perisai pertumbuhan ekonomi negeri melalui kegiatan positif untuk membahagiakan kaum buruh dan keluargannya. Atau lebih jauh sebenarnya ‘Hari Buruh Internasional’ dapat dijadikan sebagai momentum kebersamaan bagi gerakan buruh, pengusaha dan pemerintah untuk merevaluasi kondisi perburuhan di Indonesia, peran serta kaum buruh dalam memandang situasi ekonomi makro global, peran buruh dan pemerintah dalam rangka menjaga iklim usaha demi kelangsungan perusahaan, peran kaum buruh dan pengusaha kaitannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negeri.

Momentum ‘Hari Buruh Internasional’ dapat dijadikan sebagai sarana dialog akbar antara gerakan buruh, pengusaha dan pemerintah untuk bisa secara bersama memformulasikan suatu sistem usaha yang berpihak kepada kesejahteraan buruh tetapi bisa mereduksi beban biaya produksi dan inflasi sehingga sejatinya pertumbuhan ekonomi negeri dapat didorong oleh situasi usaha yang disepakati.

Kondisi sebaliknya yang terjadi saat ini momentum ‘Hari Buruh Internasional’ sebagai hari libur menjadi suatu kesia-siaan yang berlalu tanpa makna. Banyak pengusaha tidak pernah menunjukkan kepeduliannya terhadap ‘Hari Buruh Internasional’ bahkan berpretensi menjadi momok bagi proses produksi. Sehingga banyak pengusaha tetap mempekerjakan buruhnya pada ‘Hari Buruh Internasional’ walaupun telah ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Dari sisi pemerintah juga ‘Hari Buruh Internasional’ selalu dicurigai dijadikan momentum oleh gerakan buruh untuk membangkitkan kekuatan politik kaum buruh menjadi gerakan politik. Hal ini ditandai dengan adanya usaha dari Aparat Penegak Hukum sebelum tanggal 1 Mei untuk mengeliminir perayaan ‘Hari Buruh Internasional’ dan bahkan cenderung bersikap refreshif jika pada tanggal 1 Mei terjadi aksi unjuk rasa gerakan buruh dalam mengkritisi setiap kebijakan pemerintah di bidang perlindungan kaum buruh.

By design oleh pemerintah gerakan buruh dalam menuntut perbaikan kesejahteraan buruh selalu dipersepsikan sebagai faktor penghambat iklim usaha dan investasi. Bahwan faktualnya bahwa buruh telah turut berkontribusi terhadap perbaikan dan pertumbuhan ekonomi negeri pasca pandemi COVID-19.

Mirisnya dan sangat memilukan hati bahwa terindikasi nyata banyak aktivis buruh yang tergabung di dalam gerakan buruh/serikat buruh bersikap oportunis dan cenderung memanfaatkan dan mempolitisasi kondisi perburuhan di negeri ini untuk mendapatkan akses politik dan ekonomi. Gerakan buruh pada tanggal 1 Mei sebagai ‘Hari Buruh Internasional’ tidak pernah berdampak siginifikan terhadap perbaikan kualitas potret perburuhan di negeri ini. Kekuatan massa buruh pada saat aksi unjuk rasa hanya dijadikan sebagai bentuk tekanan politik untuk memperoleh bargaining position para pengurusnya saja. Apalagi gerakan buruh terkesan cenderung politis mengingat ada agenda terselubung gerakan buruh pada tanggal 1 Mei 2023 menghadirkan salah satu Capres untuk ikut bergabung dalam kegiatan unjuk rasa.

Akhirnya tanggal 1 Mei sebagi ‘Hari Buruh Internasional’ dan hari libur nasional setiap tahunnya berlalu tanpa makna hanya menyisakan sampah dampak aksi unjuk rasa dan jejak buruh tinggal satu-satu kembali berjuang sendiri. Buruh adalah kaum termarginalkan di negeri yang mereka perjuangkan.

May Day, Selamat ‘Hari Buruh Internasional’.

Artikel : Messo W Gulo, SH

Penulis: Messo W GuloEditor: Ricky Faerdinal