Gerakan Wisata Bersih di Parapat, Warga: Kami Butuh Pengelolaan Sampah yang Layak
Bacaria.id, Parapat – Parapat kembali jadi lokasi pertunjukan. Bukan konser, bukan festival budaya. Tapi seremoni bertajuk “Gerakan Wisata Bersih” (GWB) yang digelar Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Enik Ermawati bersama Bank Indonesia di Pantai Bebas, Parapat, Senin (5/5/2025)
Sekilas terdengar membanggakan. Seorang Wakil Menteri menyambangi kota kecil di tepi Danau Toba, membawa “misi kebersihan”, lengkap dengan iringan sapu lidi dan tong sampah. Tapi jika dicermati lebih dalam, yang tersisa dari acara ini hanyalah: seremoni. Sejam seremoni. Sejam bersih-bersih. Lalu pulang.
Tepat pukul 08.00 WIB, sang Wamenpar meninggalkan lokasi. Mobil dinas menderu ke arah Bandara Silangit, bahkan sebelum sebagian undangan sempat menyentuh sapu atau menyapa tamu. Sementara warga yang sejak subuh menyiapkan diri, para pejabat lokal, hingga aparat Polres hanya bisa menyaksikan punggung mobil yang berlalu.
Simbolisasi pun digelar: gondrang dipukul, sapu lidi dibagi, tong sampah ditebar. “Ini hanya pemantik,” ujar Wamenpar kepada media di lokasi.
Tapi, warga Parapat tahu, ini bukan pemantik pertama, dan bukan pula mampu mengubah apa-apa. Tahun demi tahun, pemantik datang silih berganti, tapi api Pariwisata tak juga menyala.
David pelaku wisata Parapat mengatakan Parapat tidak butuh pemantik, karena sudah lama terbakar oleh seremoni yang tidak membawa dampak nyata. Ini bukan pertama kalinya gerakan bersih-bersih dilakukan disana sini.
“Jika pejabat sekelas Wakil Menteri datang hanya untuk menyerahkan sapu lidi, lalu pergi secepat itu, pertanyaan: apa sesungguhnya yang dibawa dari dan ke Jakarta selain foto-foto dan headline berita,” ujar David.
“Kita tau tong sampah dan sapu lidi yang diberikan juga tak seberapa, cukup untuk simbol, tapi jauh dari solusi. Apakah ini cukup untuk mendongkrak kunjungan wisatawan? Apakah ini bentuk dukungan nyata untuk kawasan Danau Toba yang konon katanya menjadi Destinasi Super Prioritas,” lanjutnya.
Hal senada disampaikan warga Parapat lainnya, R. Siallagan, apakah sepasang sapu dan tong dari Bank Indonesia cukup untuk mengubah wajah wisata Parapat? Apakah kehadiran seorang Wamen untuk seremoni satu jam, lalu pulang tanpa dialog, cukup untuk menyulut gerakan nasional, Atau ini semua hanya demi konten dan laporan kerja.
“Parapat tak butuh lebih banyak seremoni. kami butuh sistem pengelolaan sampah yang layak, infrastruktur pariwisata yang bersih dan aman, serta acara berskala nasional yang benar-benar membawa wisatawan datang, bukan hanya rombongan pejabat lewat,” pinta Siallagan.
“Semoga, setelah sapu lidi ini disimpan, warga Parapat tetap menjaga kotanya dengan cinta. Bukan karena dikunjungi pejabat, tapi karena inilah rumah mereka yang pantas bersih, lestari, dan hidup,” lanjutnya.
Menurutnya, Parapat tidak lagi membutuhkan acara simbolik. Tapi ingin kebijakan nyata, pembangunan infrastruktur jalan yang layak, drainase dan tata kota agar tidak lagi terjadi banjir bandang serta perhatian pada masalah lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Wisata tak hanya soal bersih-bersih dadakan dan baliho besar. Wisata adalah pengalaman, kenyamanan, dan keberlanjutan.
“Jika semua yang bisa kami harapkan dari pejabat pusat hanyalah tong sampah dan sapu lidi, mungkin memang sudah saatnya kami sendiri yang bergerak. Tanpa seremoni. Tanpa protokoler. Tanpa janji-janji bersih yang tidak pernah membersihkan,” tandasnya. (Feri)
